kotak diskusi

kotak diskusi

Selasa, 24 Maret 2015

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (Lengkap)



BAB I
PENDAHULUAN

            Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk mempelajari Hukum Tatanegara sesuatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraannya.
Oleh karena itu, akan mudah diperoleh kejelasannya apabila dipelajari terlebih dahulu sejarah ketatanegaraannya sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya. Terlebih jika mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan Indonesia ternyata penuh mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika revolusi Bangsa Indonesia, sehingga mempelajari sejarahnya adalah mutlak perlu.
Dalam makalah ini pun akan membedah beberapa bahan materi yang dianggap krusial untuk dibahas sebagai bahan kajian pembahasan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Pra Kemerdekaan
1.      Masa Penjajahan Belanda
Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah :
a.       Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938 
Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
b.      Indische Staatsregeling (IS) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah :[1]
a.       WET
Yang dimaksud dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.
b.      AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur)
Yang dimaksud dengan Algemene Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di Indonesia disebut Peraturan Pemerintah (PP).


c.       Ordonantie
Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah (Perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
d.      RV (Regering Verardening)
Regering Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan Gubernur .
Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat.
 Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut : 
a.       Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat)
b.      Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung)
c.       Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.

Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan. 
Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu.
Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan Belanda.
2.      Masa Penjajahan Jepang
Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Peran Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang, tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :
a.       Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
  1. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo. 
Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :[2]
a.       Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
  1. Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
  2. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan musuh.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.
B.     Sistem Pasca Kemerdekaan Indonesia
Adapun pelaksanaan Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      UUD 1945 (17 Agustus – 27 Desember 1949)
Sehari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 bersamaan dengan itu telah dipilih dan ditetapkan pula Presiden dan Wakil Presiden yaitu masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Sebagai kelengkapan pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan maka dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP berfungsi sebagai pembantu presiden dalam tugas-tugas melaksanakan kedaulatan rakyat dan tugas lembaga tinggi negara lainnya (MPR, DPR, dan DPA) sebelum badan itu dibentuk. Keanggotaan KNIP sebanyak 135 orang yang mencerminkan dari tokoh-tokoh perjuangan, tokoh agama, pemimpin partai,pemimpin masyarakat, pemimpin ekonomi yang terkemuka. Kemudian tanggal 2 September dibentuk dan dilantik oleh Ir. Soekarno kabinet pertama yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno.[3]
Tanggal 16 Oktober 1945 wakil presiden mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945, yang menetapkan bahwa : “Bahwa KNIP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara”.
Perubahan kedua terjadi pada tanggal 11 Nopember 1945, ketika KNIP mengusulkan kepada presiden adanya sistem pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen (KNIP), menanggapi usul tersebut maka pada tanggal 14 Nopember 1945 kabinet presidensiil dibawah pimpinan Ir. Soekarno meletakkan jabaan dan diganti oleh kabinet baru, dengan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dan mulai saat itu kekuasaan eksekutif telah bergeser dari presiden kepada perdana menteri.
Pada periode ini pemerintahan Indonesia juga mengalami tragedi luar biasa, karena Belanda melakukan agresi pertama tanggal 27 Juli 1947 dan disusul dengan agresi kedua pada tanggal 19 Desember 1948, dan Ibu Kota Negara terpaksa harus pindah ke Yogyakarta, di samping itu PKI juga melakukan pemberontakan di Madiun pada tanggal 18 September 1948.[4]
2.      Konstitusi RIS (27 Desember – 17 Agustus 1950)
Sebelumnya pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda secara sepihak membatalkan perjanjian Renville di Tanjung Priok, dan disinilah Belanda melancarkan agresi ke dua, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, H.A Salim pada tanggal 27 Desember 1948 diasingkan ke Brastagi. Sedangkan Moh. Hatta, Mr. Pringgodogdo, M. Assat,Suryadarma, Moh. Room, Mr. Ali Sastro Amidjojo diasingkan ke pulau Bangka. Sedangkan Jenderal Sudirman terus melakukan gerilya di hutan-hutan seputar Yogyakarta dan Jawa Timur.
Pada tanggal 1 Maret 1949 rakyat bersama TNI dibawah pimpinan Soeharto melancarkan serangan besar- besar untuk merebut kembali negara RI di Yogyakarta dan terjadi pertempuran selama 6 jam dan Yogyakarta dapat direbut kembali, peristiwa ini telah membuka mata dunia bahwa Indonesia masih eksis sebagai negara yang selama ini di informasikan oleh Belanda bahwa TNI tidak ada lagi dan RI sudah bubar. Dengan peristiwa 1 Maret 1949 tersebut maka PBB memperhatikan indonesia untuk mengadakan perundingan kembali yang isinya Belanda menyetujui RI kembali ke yogyakarta. Setelah para tokoh RI kembali dari persaingan, maka pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden yang pertama RIS oleh negara bagian dan Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS, kemudian tanggal 19 Desember 1949 terbentuk kabinet RIS ke 1 dengan perdana mentrinya Moh. Hatta merangkap Menteri Luar Negeri. Maka pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah negara RIS dengan dikembalikanya kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. [5]
Peristiwa terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus- 2 Novenber 1949 ialah kerajaan Belanda harus memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Dan pada hari yang sama pula Republik Indonesia menyerahkan kedaulatan kapada Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam belas negara bagian dari Republik Indonesia serikat.
Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan , Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang tujuan  utamanya mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
3.      UUDS 1950 (17 Agustus 1950- 5 juli 1959)
Seperti telah diketahui bahwa negara RIS adala hasil kompromi antara Indonesia dengan Belanda dalam posisi terdesak Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari KMB tidak sejalan dengan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27 Desember 1949 dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan kedaulatan sebagai berikut:[6]
a.         Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada Negara dengan bagian yang lain (dalam hal ini kepada Negara RIS pemerintahan).
b.         Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh negara bagian.
c.         Persetujuan antara Negara federal dengan Negara bagian.
Dengan cara ini ternyata belum berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan Negara kesatuan kembali, maka harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS dengan Konstitusi baru dengan berbagai catatan antara lain:
a.       Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS harus dicabut.
b.      Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara bagian yang ada masuk RI, dengan sendirinya RIS bubar.
Maka pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950  ini sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Pada periode ini Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah Pemilihan Umum untuk Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik, pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang pertama Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante telah menjadi medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi partai politik dan pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan prinsipil.
Disamping itu terjadi pergolakana pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi pemberontakan di daerah oleh PRRI/ Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan pengunduran diri wakil Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk UUD yang permanen telah gagal.
4.      Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Konstiuante telah menyelanggarakan sidang-sidang membahas rencana penggantian UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang undang-undang dasar yang dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja Konstituante maka pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali kepapda UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum sidang Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai 26 Mei 1959.[7]
Maka dengan pertimbangan keselamatan negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit” yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.[8]
5.      Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)
Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 15 tahun 1969, undang-undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL II/MPRS/1968.[9]
Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971 dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan rakyat telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun 1977 dala Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973.
Sandaran teoritis yang dikemukakan ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu dapat dianggap sah, karena keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata negara darurat (objective staatsnoodrecht).
Dikaitkan dengan lembaga pemilu, ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun ketiganya tidak secara eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi dapat dikatakan UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal memang menuntut adanya lembaga pemilu.
C.     Sistem Era Reformasi (21 Mei 1998-20 Oktober 2009)
Reformasi Indonesia jika dipandang secara umum diakibatkan karena krisis ekonomi dunia pada akhir abad 20, Indonesia salah satu negara yang terkena dampak krisis ini. Dimulai pada tanggal 22 Januari 1998 angka rupiah tembus 17.000,- per dolar AS dan IMF (Dana Moneter Internasional) tidak menunjukkan rencana bantuannya untuk Indonesia. Kemudian awal Maret terdapat dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional.[10]
Dengan lengsernya Presiden Soeharto pad tanggal 21 Mei 1998 maka terjadi perubahan besar dibidang ketatanegaraan khususnya dalam konteks demokrasi, hukum dan hak asasi manusia. Pada masa pemerintahan Habibie menggantikan Presiden soeharto, ia menyelenggarakan pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Hasil pemilu tersebut dimana anggota MPR/DPR kemudian memilih H. Abdulrrahman Wahid menjadi presiden  dan Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden. Sebelum berakhir kepemimpinan Gusdur terjadi pergolakan ketatanegaraan dimana MPR/DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada presiden Abdurrahman Wahid yang mana kala itu MPR dipimpin oleh H. Amin Rais. Implikasi politik dari mosi tersebut presiden dilengserkan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.[11]
Pada tahun 2004 diselenggarakan pemilu kedua era reformasi dimana Susilo Bambang Yudhoyino dan H. Yusuf Kalla dipilih langsung oleh rakyat menjadi presiden dan wakil presiden. Selanjutnya tahun 2009 pemilu ketiga era reformasi diselenggarakan, hasilnya dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara hukum yang demokratis, oleh karena itu salah satu dari berkah era reformasi adalah perubahan terhadap UUD 1945, karena sejak dekrit 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto praktis UUD 1945 belum pernah diubah.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan dan reformasi. Sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menggunakan asas dekonsentrasi. Dan pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950  ini sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Saatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum
Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara hukum yang demokratis dan UUD 1945 belum pernah diubah.
B.     Saran
Besar harapan, makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mahdi Imam, Hukum Tata Negara Indonesia (Teras : Yogyakarta, 2011)
Sinamo Nomensen, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi : Permata Aksara, 2014)

Sumber dari internet :



[3] Imam Mahdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Teras : Yogyakarta, 2011), hlm. 51-52
[4] Ibid., hlm. 54
[5] Ibid., hlm. 55
[6] Ibid., hlm. 56-57
[7] Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi : Permata Aksara, 2014), hlm. 195
[8] Ibid., hlm.196
[9] Ibid., hlm. 196
[11] Op-Cit., hlm. 198

4 komentar: