BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah ketatanegaraan di Indonesia
dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode pra kemerdekaan dan periode
pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk mempelajari Hukum Tatanegara sesuatu Negara,
kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya apabila terlebih dahulu
dipelajari sejarah ketatanegaraannya.
Oleh karena
itu, akan mudah diperoleh kejelasannya apabila dipelajari terlebih dahulu
sejarah ketatanegaraannya sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya.
Terlebih jika mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan Indonesia ternyata
penuh mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika revolusi Bangsa Indonesia,
sehingga mempelajari sejarahnya adalah mutlak perlu.
Dalam
makalah ini pun akan membedah beberapa bahan materi yang dianggap krusial untuk
dibahas sebagai bahan kajian pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem
Pra Kemerdekaan
1. Masa
Penjajahan Belanda
Pada masa ini Indonesia (yang
selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan merupakan bagian dari
Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan
Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada
di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya
sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai
pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus
bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang
dipergunakan di Negeri Belanda dalam sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan
dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah :
a.
Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938
Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian
dari Kerajaan Belanda.
Pasal 62 : Ratu Belanda memegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia, dan Gubernur
Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia
ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan
pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan
Undang-Undang.
b.
Indische Staatsregeling (IS) pada hakekatnya adalah
Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari
Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil
IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara
umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah
atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun
bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS
adalah :[1]
a.
WET
Yang dimaksud dengan WET adalah
peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja
Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata
lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.
b.
AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur)
Yang dimaksud dengan Algemene
Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda
dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur
tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di
Indonesia disebut Peraturan Pemerintah (PP).
c.
Ordonantie
Yang dimaksud dengan Ordonantie
adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama-sama
dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ordonantie sejajar dengan
Peraturan daerah (Perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
d.
RV (Regering Verardening)
Regering Verardening adalah semua peraturan
yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad.
Regering Verardening setara dengan Keputusan Gubernur .
Keempat peraturan perundang-undangan
ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal
adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat
berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat.
Pada masa Hindia Belanda ini
sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak
sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah
dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan
Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali,
khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem
ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :
a.
Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada
Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dengan dibantu oleh Raad
Van Indie (Badan penasehat)
b.
Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah
Agung)
c.
Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan seperti ini
berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada masa
proklamasi kemerdekaan.
Memperhatikan susunan ketatanegaraan
tersebut di atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat
disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk
disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
Memang realitasnya ketiga unsur
tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan
pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga
unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri,
melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu.
Ditinjau dari unsur pemerintahan
yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan
Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara
pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan
Belanda.
2. Masa
Penjajahan Jepang
Sejarah menunjukkan bahwa dengan
adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Peran Dunia Ke II
muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara
Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh
bala tentara Jepang, tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada
di bawah kolonialisme Belanda.
Dalam sejarah perang asia timur
raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :
a.
Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan
untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini
disebabkan wilayah pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang
menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena
itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam
hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda,
melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
- Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan
sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI,
Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula
sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap
dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo.
Perlu diketahui pula pada masa
pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah
besar yaitu :[2]
a.
Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan
Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
- Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
- Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dari pembagian wilayah ini
membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model
bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham militeristik seperti ini
dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur komando dan
mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan musuh.
Salah satu peraturan yang menjadi
salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942.
Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan.
Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan
dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor
pemerintahan Jepang setempat.
B. Sistem Pasca
Kemerdekaan Indonesia
Adapun pelaksanaan Undang-Undang
Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
UUD 1945 (17 Agustus – 27 Desember 1949)
Sehari setelah proklamasi 17 Agustus
1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia), pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan ketatanegaraan
berdasarkan UUD 1945 bersamaan dengan itu telah dipilih dan ditetapkan pula
Presiden dan Wakil Presiden yaitu masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta.
Sebagai kelengkapan pelaksanaan
ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan maka dibentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). KNIP berfungsi sebagai pembantu presiden dalam
tugas-tugas melaksanakan kedaulatan rakyat dan tugas lembaga tinggi negara
lainnya (MPR, DPR, dan DPA) sebelum badan itu dibentuk. Keanggotaan KNIP
sebanyak 135 orang yang mencerminkan dari tokoh-tokoh perjuangan, tokoh agama,
pemimpin partai,pemimpin masyarakat, pemimpin ekonomi yang terkemuka. Kemudian
tanggal 2 September dibentuk dan dilantik oleh Ir. Soekarno kabinet pertama
yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno.[3]
Tanggal 16 Oktober 1945 wakil
presiden mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945, yang menetapkan bahwa : “Bahwa
KNIP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara”.
Perubahan kedua terjadi pada tanggal
11 Nopember 1945, ketika KNIP mengusulkan kepada presiden adanya sistem
pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen (KNIP), menanggapi usul
tersebut maka pada tanggal 14 Nopember 1945 kabinet presidensiil dibawah
pimpinan Ir. Soekarno meletakkan jabaan dan diganti oleh kabinet baru, dengan
Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dan mulai saat itu kekuasaan eksekutif
telah bergeser dari presiden kepada perdana menteri.
Pada periode ini pemerintahan
Indonesia juga mengalami tragedi luar biasa, karena Belanda melakukan agresi
pertama tanggal 27 Juli 1947 dan disusul dengan agresi kedua pada tanggal 19
Desember 1948, dan Ibu Kota Negara terpaksa harus pindah ke Yogyakarta, di
samping itu PKI juga melakukan pemberontakan di Madiun pada tanggal 18
September 1948.[4]
2.
Konstitusi RIS (27 Desember – 17 Agustus 1950)
Sebelumnya pada tanggal 18 Desember
1948 Belanda secara sepihak membatalkan perjanjian Renville di Tanjung Priok,
dan disinilah Belanda melancarkan agresi ke dua, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir,
H.A Salim pada tanggal 27 Desember 1948 diasingkan ke Brastagi. Sedangkan Moh.
Hatta, Mr. Pringgodogdo, M. Assat,Suryadarma, Moh. Room, Mr. Ali Sastro Amidjojo
diasingkan ke pulau Bangka. Sedangkan Jenderal Sudirman terus melakukan gerilya
di hutan-hutan seputar Yogyakarta dan Jawa Timur.
Pada tanggal 1 Maret 1949 rakyat
bersama TNI dibawah pimpinan Soeharto melancarkan serangan besar- besar untuk
merebut kembali negara RI di Yogyakarta dan terjadi pertempuran selama 6 jam
dan Yogyakarta dapat direbut kembali, peristiwa ini telah membuka mata dunia
bahwa Indonesia masih eksis sebagai negara yang selama ini di informasikan oleh
Belanda bahwa TNI tidak ada lagi dan RI sudah bubar. Dengan peristiwa 1 Maret
1949 tersebut maka PBB memperhatikan indonesia untuk mengadakan perundingan
kembali yang isinya Belanda menyetujui RI kembali ke yogyakarta. Setelah para
tokoh RI kembali dari persaingan, maka pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan
pemilihan Presiden yang pertama RIS oleh negara bagian dan Soekarno terpilih
sebagai Presiden RIS, kemudian tanggal 19 Desember 1949 terbentuk kabinet RIS
ke 1 dengan perdana mentrinya Moh. Hatta merangkap Menteri Luar Negeri. Maka
pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah negara RIS dengan dikembalikanya
kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. [5]
Peristiwa terbentuknya negara RIS
diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan Indonesia di Den Haag
dari tanggal 23 Agustus- 2 Novenber 1949 ialah kerajaan Belanda harus
memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik
Indonesia Serikat. Dan pada hari yang sama pula Republik Indonesia menyerahkan
kedaulatan kapada Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam
belas negara bagian dari Republik Indonesia serikat.
Negara Serikat yang berbentuk
federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara
Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan , Negara Jawa Timur,
Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat
yang terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang
tujuan utamanya mempertahan Negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
3.
UUDS 1950 (17 Agustus 1950- 5 juli 1959)
Seperti telah diketahui bahwa negara
RIS adala hasil kompromi antara Indonesia dengan Belanda dalam posisi terdesak
Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari KMB tidak sejalan dengan
cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27 Desember 1949
dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan
kedaulatan sebagai berikut:[6]
a.
Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada
Negara dengan bagian yang lain (dalam hal ini kepada Negara RIS pemerintahan).
b.
Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh
negara bagian.
c.
Persetujuan antara Negara federal dengan Negara
bagian.
Dengan cara ini ternyata belum
berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan Negara kesatuan kembali, maka
harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS dengan Konstitusi
baru dengan berbagai catatan antara lain:
a.
Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS
harus dicabut.
b.
Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara
bagian yang ada masuk RI, dengan sendirinya RIS bubar.
Maka pada tanggal 18 Agustus 1950,
UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950
ini sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem
pemerintahan yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana
Menteri. Pada periode ini Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi
pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah Pemilihan Umum untuk
Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik, pada
tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang pertama
Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak
terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante
telah menjadi medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi
partai politik dan pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan
prinsipil.
Disamping itu terjadi pergolakana
pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi pemberontakan di daerah oleh PRRI/
Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan pengunduran diri wakil
Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk UUD yang
permanen telah gagal.
4.
Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Konstiuante telah menyelanggarakan
sidang-sidang membahas rencana penggantian UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya
Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang undang-undang dasar yang
dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja Konstituante maka
pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada
Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali
kepapda UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum
sidang Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai
26 Mei 1959.[7]
Maka dengan pertimbangan keselamatan
negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit”
yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan
tidak berlakunya lagi UUDS 1950.[8]
5.
Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)
Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959
berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali
dilaksanakan pemilihan umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari
Undang-undang No. 15 tahun 1969, undang-undang mana adalah pelaksanaan dari
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL
II/MPRS/1968.[9]
Sebagai hasil dari pemilihan umum
tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971 dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat,
dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis Permusyawaratan Rakyat dilantik pula.
Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan rakyat telah menetapkan
bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun 1977 dala
Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973.
Sandaran teoritis yang dikemukakan
ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu dapat dianggap sah, karena
keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata negara darurat
(objective staatsnoodrecht).
Dikaitkan dengan lembaga pemilu,
ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (UUD 1945, UUD RIS, UUDS
1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun ketiganya tidak secara
eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi dapat dikatakan
UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang
demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal
memang menuntut adanya lembaga pemilu.
C. Sistem Era Reformasi
(21 Mei 1998-20 Oktober 2009)
Reformasi Indonesia jika dipandang secara umum diakibatkan karena krisis
ekonomi dunia pada akhir abad 20, Indonesia salah satu negara yang terkena
dampak krisis ini. Dimulai pada tanggal 22 Januari 1998 angka rupiah tembus
17.000,- per dolar AS dan IMF (Dana Moneter Internasional) tidak menunjukkan
rencana bantuannya untuk Indonesia. Kemudian awal Maret terdapat dua puluh
mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan
penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada
Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional.[10]
Dengan lengsernya Presiden Soeharto
pad tanggal 21 Mei 1998 maka terjadi perubahan besar dibidang ketatanegaraan
khususnya dalam konteks demokrasi, hukum dan hak asasi manusia. Pada masa
pemerintahan Habibie menggantikan Presiden soeharto, ia menyelenggarakan pemilu
tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Hasil pemilu tersebut dimana
anggota MPR/DPR kemudian memilih H. Abdulrrahman Wahid menjadi presiden dan Megawati Soekarnoputri menjadi wakil
presiden. Sebelum berakhir kepemimpinan Gusdur terjadi pergolakan
ketatanegaraan dimana MPR/DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada presiden
Abdurrahman Wahid yang mana kala itu MPR dipimpin oleh H. Amin Rais. Implikasi
politik dari mosi tersebut presiden dilengserkan dan digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri.[11]
Pada tahun 2004 diselenggarakan
pemilu kedua era reformasi dimana Susilo Bambang Yudhoyino dan H. Yusuf Kalla
dipilih langsung oleh rakyat menjadi presiden dan wakil presiden. Selanjutnya
tahun 2009 pemilu ketiga era reformasi diselenggarakan, hasilnya dimenangkan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Pada era reformasi usaha untuk
menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara hukum yang demokratis, oleh
karena itu salah satu dari berkah era reformasi adalah perubahan terhadap UUD
1945, karena sejak dekrit 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto praktis UUD 1945 belum pernah diubah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah
ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu
periode pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan dan reformasi. Sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda adalah menggunakan asas dekonsentrasi. Dan pada masa pendudukan Jepang
paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS
1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini
sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan
yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Dengan
Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini
ialah Saatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan
pemilihan umum
Pada era reformasi usaha untuk
menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara hukum yang demokratis dan UUD
1945 belum pernah diubah.
B. Saran
Besar harapan,
makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini
kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah
ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran
sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahdi Imam, Hukum Tata Negara Indonesia (Teras :
Yogyakarta, 2011)
Sinamo Nomensen,
Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi
: Permata Aksara, 2014)
Sumber dari internet :
[1] https://ferryyanto88.wordpress.com/2014/05/27/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-pra-kemerdekaan/. Diakses pada tanggal 22 Maret 2014
[2] http://shintahappyyustiari.lecture.ub.ac.id/files/2012/10/SEJARAH-KETATANEGARAAN-INDONESIA1.pdf. Diakses pada tanggal 22 Maret
2015
[3] Imam Mahdi, Hukum Tata Negara Indonesia, (Teras : Yogyakarta, 2011), hlm. 51-52
[4] Ibid., hlm. 54
[5] Ibid., hlm. 55
[6] Ibid., hlm. 56-57
[7] Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi :
Permata Aksara, 2014), hlm. 195
[8] Ibid., hlm.196
[9] Ibid., hlm. 196
[10] http://agusbudipendidikanips.blogspot.com/2013/11/ketatanegaraan-era-reformasi.html. Diakses pada tanggal 24 Maret
2015
[11] Op-Cit., hlm. 198
terima kasih banyak :)
BalasHapus🖒
BalasHapusQa
BalasHapusterimakasih banyak
BalasHapus